Oleh: Fauzi Fii Sabilillah.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau
yang kerap disapa Hamka adalah karunia indah dari Allah kepada bangsa
Indonesia, beliau adalah ulama, cendekiawan, pahlawan Nasional yang dikenal hingga penjuru
dunia, atas keluasan
ilmunya dan perjuanganya dalam Islam. Oleh karenanya mari kita seimak biografi Hamka,
karya,karir dan tafsir Al-Azhar.
A. Biografi dan Setting
Sosio-Histori Buya Hamka.
1.
Biografi Buya Hamka
Hamka lahir di kampung Molek, Maninjau
Sumatera Barat pada tanggal 17 Ferbruari 1908 M. Nama lengkapnya adalah Haji
Abdul Malik Karim Amrullah. Namun ia lebih akrab dipanggil Hamka, yang
merupakan singkatan dari namanya sendiri. Sebutan Buya di depan namanya tak lain merupakan
panggilan buat orang Minangkabau yang berarti ayah kami atau seseorang yang
dihormati. Sebutan buya merupakan saduran dari bahasa Arab, abi atau
abuya.
Ayahnya bernama Abdul Karim bin
Amrullah yang juga dikenal sebagai Haji Rasul. Sang ayah adalah pelopor gerakan
islah (reformasi) di Minangkabau, Sekembalinya dari Makkah pada tahun
1906 M. Hamka mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau hingga Darjah
Dua (kelas dua). Ketika ayahnya mendirikan
Sumatera Thawalieb di padang Panjang, Hamka yang berusia 10 tahun segera
pindah ke lembaga tersebut, di situ Hamka mempelajari bahasa Arab. Hamka juga
mendaras ilmu-ilmu agama di surau dan masjid yang diasuh sejumlah ulama
terkenal seperti Sutan Mansur, RM. Surjopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, Syekh
Ahmad Rasyid, dan Syekh Ibrahim Musa.
Mulai
tahun 1916 sampai 1923 (kurang lebih tujuh tahun), ia belajar agama pada
lembaga pendidikan Diniyah School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek. Di
antara gurunya waktu itu adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul
Hamid Hakim dan Engku Zainuddin Labay el-Yunusy. Guru yang terakhir ini banyak
memberi pengaruh terhadap perkembangan intelektual dan pemikiran keagamaan
Hamka. Sambil bekerja pada percetakan dan perpustakaan milik Engku Zainuddin
bersama Engku Datuk Sinaro, dengan kemampuan bahasa Arab dan ingatannya yang
kuat, ia menyempatkan diri membaca
bermacam-macam buku tentang agama, filsafat, hingga sastera. Di sinilah ia
mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran filsafat Arsitoteles, Plato,
Pythagoras, Plotinus, Ptolemeus dan lain-lain dalam usia yang masih muda.
Pergaulannya
dengan Engku Zainddin semakin membangkitkan gairah intelektualnya. Namun
setelah guru yang dicintainya itu wafat, ia merasa gairah dan semangat
intelektualnya tidak lagi tersahuti di Padangpanjang. Oleh karena itu, ia
berhasrat merantau, dan yang ditujunya adalah pulau Jawa, tempat kakak iparnya
A.R. Sutan Mansur yakni Pekalongan.
Hamka
tidak langsung ke Pekalongan melainkan ke Yogyakarta (1924), untuk sementara Hamka
tinggal bersama pamannya (adik dari ayahnya), Ja’far Amrullah, di desa
Ngampilan. Oleh pamannya, ia diajak mendalami kitab-kitab penting kepada beberapa ulama
waktu itu, seperti Ki Bagus Hadikusumo untuk bidang tafsir,
R.M. Soeryopranoto dalam bidang sosiologi, K.H. Mas Mansur tentang filsafat dan
tarikh Islam, Haji Fachruddin, H.O.S. Tjokroaminoto dalam bidang Islam dan
Sosialisme, Mirza Wali Ahmad Baig,
A. Hassan Bandung, dan ― terutama ― A.R.
Sutan Mansur.
Perjumpaannya
dengan tokoh-tokoh pemikir dan ulama dengan basic keilmuan yang berbeda tersebut,
tentu berpengaruh baginya dalam memperkaya wawasan dengan spektrum
keilmuan yang luas. Tidak mengherankan jika Hamka selanjutnya termasuk pemikir
atau ulama yang generalis. Sebagai bias keluasan pandangan tersebut, misalnya,
ia berbeda dalam beberapa aspek pemikiran dengan gurunya A.R. Sutan Mansur.
Salah satu perbedaan tersebut adalah metode dan pendekatan yang mereka gunakan
dalam memahami universalitas Islam. Hamka dalam hal ini concern
pada diskursus yang lebih bebas dan tidak membatasi diri pada bidang keilmuan
tertentu, sementara A.R. Sutan Mansur concern pada pemikiran yang ketat
menyandarkan pandangan kepada Al-Quran dan Hadith.
Pada
tahun 1927 (usia 19 tahun), dengan maksud menuntut ilmu beberapa tahun, ia
berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah Haji, sambil menjadi koresponden
pada harian “Pelita Andalas” di Medan. Di Makkah, ia berjumpa dengan H. Agus
Salim, pimpinan Sarekat Islam (SI). Agus Salim menasehati agar tidak usah
terlalu lama di Makkah, sebab Makkah bukan tempat menuntut ilmu, akan tetapi
tempat untuk meperbanyak ibadah. Oleh karena itu, jika niatnya menuntut ilmu,
maka Agus Salim menganjurkan untuk belajar di tanah air saja
2.
Karir dan Karya Buya Hamka.
Pada tahun 1927 M, Hamka mulai
pengabdian terhadap ilmu pengetahuan dengan menjadi guru agama di Perkebunan
Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 M, menekuni profesi serupa di Padang
panjang. Pada tahun 1957 M-1958 M, Hamka dilantik sebagai dosen Universitas
Islam Jakarta dan universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Jabatan prestisius
sebagai rektor juga pernah dikecapnya pada perguruan tinggi Islam Jakarta.
Dengan kecakapannya berbahasa Arab,
Hamka menelaah karya ulama pujangga
besar timur tengah, seperti Mus}t}afa> al-Manfaluti, ‘Abba>s
al-Aqqat}, H{usain Haikal, Jurji Zaidan, dan Zaki Muba>rak. Karya sarjana
Perancis, Inggris, dan Jerman semisal Albert Camus, William James, Singmund
Freud, Arnold Tonybene, Jean Paul Sarte, Karl Marx, dan Pierre Loti juga tak
luput dari penelaahnya.
Pada tahun 1925, Hamka turut membidani
deklarasi berdirinya Muhamadiyah. Pada tahun 1928 M, Hamka menjadi ketua
Muhamadiyah Padang Panjang. Dua tahun kemudian menjadi konsul Muhammadiyah di
Makasar. Pada tahun 1946 M, Hamka didaulat sebagai Ketua Majelis pimpinan
Muhamadiyah di Sumatera Barat. Jabatan penasihat pimpinan pusat Muhamadiyah
disandangnya pada tahun 1953. Di jalur
politik, Hamka terdaftar sebagai anggota Serikat Islam. Pada tahun 1947, Hamka
dilantik sebagai anggota Masyumi. Dalam
pemerintahan Hamka menjabat sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada
tahun 1977-1981. Pada
Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981
pada usia 73 tahun. Pada
tanggal 10 November 2011, Prof. Dr. Buya Hamka telah ditetapkan sebagai
pahlawan nasional sesuai dengan Keppres No. 113/tk/2011. Hamka menjadi ketua
yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar dari tahun 1972 sampai akir hayat.
Buya Hamka adalah seorang penulis yang produktif.
Diantara karyanya adalah:
a. Khatib al-Ummah, Padang Panjang. Merupakan karya pertama yang disusun dan disunting
dari hasil ceramah di berbagai tempat. Terdiri dari jilid 1-3 ditebitkan tahun
1925.
b. Si Sabariah, adalah buku
pertama romannya dalam bahasa Minangkabau, diterbitkan tahun 1928.
c. Falsafah Ideologi
Islam,
Jakarta: Pustaka Wijaya tahun
1950.
d. Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas tahun 1950
e. Empat Bulan di Amerika, Jakarta: Tinta Mas, 1954. Buku ini berisi tentang perjalanan Hamka selama di
Amerika.
f.
Di Bawah Lindungan
Ka'bah, Jakarta: Balai Pustaka, 1957. Buku ini merupakan sebuah novel yang telah
difilmkan.
g. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim
Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka
Wijaya tahun 1958. Buku ini
ditulis sebagai kenangan kepada ayahnya.
h. Pengaruh Muhammad
Abduh di Indonesia,
Jakarta: Tinta Mas, 1965. sebelum di
bukukan awalnya
merupakan naskah yang disampakan Hamka
pada cermah ilmiah saat menerima gelar Doktor Honoris Causa
dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
i.
Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Buku ini merupakan novel yang juga telah difilmkan.
j.
Kenang-Kenangan Hidup,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Buku ini
menceritakan perjalanan hidup Hamka sejak tahun 1908 hingga 1950.
k. Dari Perbendaharaan
Lama, Medan:
M. Arbi tahun 1963. Buku ini dicetak kembali oleh
Pustaka Panjimas pada tahun 1982.
l.
Tasauf Modern, Jakarta:
Panjimas tahun 1990.
3.
Karya Buya Hamka dalam Bidang Tafsir.
Karya Hamka di bidang tafsir adalah
tafsir Al-Azha>r, di dalamnya Hamka menggabungkan sejarah Islam
modern dengan studi al-Qur’an dan berusaha melangkah keluar dari
penafsiran-penafsiran tradisional. Titik tekannya adalah menguak ajaran
al-Qur’an dan menyesuaikan konteksnya dalam ranah keislaman.
Sebagaimana telah kita bayangkan, tafsir itu membawa corak pandang hidup
penafsir. Dan juga haluan dan madhabnya. Oleh sebab itu “tafsir al-Azha>r”
ini ditulis dalam suasana baru, di negara yang penduduk muslim lebih besar
jumlahnya dari penduduk yang lain, sedang mereka haus akan bimbingan agama haus
hendak akan mengetahui rahasia
al-Qur’an, maka pertikaian-pertikaian madhab tidak dibawa dalam tafsir
ini, dan penulisnya tidak ta’as}u>b
kepada suatu paham, melainkan mencoba segala upaya mendekati maksud ayat,
menguraikan makna dari lafal bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan memberi
kesempatan orang untuk berpikir.
Madhab yang dianut oleh penafsir ini adalah madhab
salaf, yaitu madhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan
Ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. dalam hal akidah dan ibadah,
semata-mata taslim artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi.
Tetapi tidaklah semata-mata taqli>d kepada pendapat manusia,
melainkan meninjau mana yang lebih dekat kepada kebenaran untuk diikuti, dan
meninggalkan mana jauh yang menyimpang. Meskipun penyimpangan yang jauh itu,
bukanlah atas suatu sengaja yang buruk dari yang mengeluarkan pendapat itu.
Tafsir Al-Azha>r merupakan
karya terbesarnya, ditulis saat berada dalam tahanan era Orde Lama. Tafsir Al-Azha>r pertama kali diterbitkan oleh Pembimbing Masa dari juz satu
hingga empat. Juz 30 hingga 15 diterbitkan oleh Pustaka Islam Surabaya. Juz
5 sampai 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.
Sebelum betul-betul masuk dalam tafsir
ayat Al-Qur’an, sang mufasir terlebih dahulu memberikan banyak pembukaan, yang
terdiri dari: Kata pengantar,
pandahuluan, Al-Qur’an, i’jâz Al-Qur’an, isi mu’jizat Al-Qur’an, Al-Qur’an lafaz dan makna, menafsirkan Al-Qur’an, haluan tafsir, mengapa diberi nama “Tafsir Al-Azhar” dan hikmat
Ilahi.
B.
Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Azha>r.
Dalam Kata
Pengantar, Hamka menyebut beberapa nama yang ia anggap berjasa bagi dirinya
dalam pengembaraan dan pengembangan keilmuan keislaman yang ia jalani.
Nama-nama yang disebutnya itu boleh jadi merupakan orang-orang pemberi motivasi
untuk segala karya cipta dan dedikasinya terhadap pengembangan dan
penyebarluasan ilmu-ilmu keislaman, tidak terkecuali karya tafsirnya. Nama-nama
tersebut selain disebut Hamka sebagai orang-orang tua dan saudara-saudaranya,
juga disebutnya sebagai guru-gurunya. Nama-nama itu antara lain, ayahnya
sendiri yang merupakan gurunya sendiri, Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, Syaikh
Muhammad Amrullah (kakek), Abdullah Shalih (Kakek Bapaknya).
Tafsir
ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh
oleh Hamka di masjid Al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun
1959. Ketika itu, masjid belum bernama Al-Azhar. Pada waktu yang sama,
Hamka dan K.H. Fakih Usman dan H.M. Yusuf Ahmad, menerbitkan majalah Panji
Masyarakkat.
Baru
kemudian, Nama al-Azhar bagi masjid tersebut diberikan oleh Syeikh Mahmud
Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia pada
Desember 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus al-Azhar di Jakarta.
Penamaan tafsir Hamka dengan nama Tafsir Al-Azhar berkaitan erat dengan
tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid Agung Al-Azhar.
Terdapat
beberapa faktor yang mendorong Hamka untuk menghasilkan karya tafsir tersebut.
Hal ini dinyatakan sendiri oleh Hamka dalam muqadimah kitab tafsirnya. Di
antaranya ialah keinginan beliau untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam
dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Quran,
tetapi terhalang akibat ketidak mampuan mereka menguasai ilmu bahasa Arab.
Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk
memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan
keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada
sumber-sumber bahasa Arab. Hamka memulai tafsir Al-Azha>r dari surah Al-Mukminun
karena beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan
lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya.
Mulai
tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar ini, dimuat di
majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai
terjadi kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang
“Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”. Pada tanggal 12 Rabi’ al-awwal 1383H/27 Januari
1964, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada
negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Hamka
karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya. Penerbitan pertama Tafsir
Al-Azha>r dilakukan oleh penerbitan Pembimbing Masa, pimpinan Haji
Mahmud. Cetakan pertama, merampungkan penerbitan dari juz pertama sampai juz
keempat. Kemudian diterbitkan pula juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 oleh Pustaka
Islam Surabaya. Dan akhirnya juz 5 samapai juz 14 diterbitkan oleh Yayasan
Nurul Islam Jakarta.
C.
Metode Penafsiran Buya Hamka dalam
Tafsir Al-Azha>r.
Terdapat
empat metodelogi penafsiran yang
berkembang sepanjang sejarah,
diantaranya: Muqar>in
(perbandingan),
maud}u>’i (tematik),
ijma>li>> (global)
dan tah}li>li>
(analitis).
Dari empat macam metode penafsiran tersebut, tafsir Al-Azha>r menggunakan metode analitis (tah}li>li>). Metode
tah}li>li> adalah “Salah satu metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya.
Seorang penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
secara runtut dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan
urutan mushaf ‘uthma>ni>>, untuk
itu menguraikan kosa kata dan lafal, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga
unsur i’ja>z dan bala>ghah, serta
kandunganya dalam berbagai aspek pengetahuan dan hukum.
Sistematika
metode tah}li>li> (analitis) biasanya
diawali dengan mengemukakan korelasi munasabah (hubungan) ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain. Dan
penafsiran dengan metode tah}li>li>
tidak mengabaikan asba>b al nuzu>l suatu
ayat. Dan dalam pembahasanya, penafsir biasanya merujuk riwayat-riwayat
terdahulu baik yang diterima dari Nabi, sahabat maupun ungkapan-ungkapan Arab
pra Islam dan kisah isra’i>liya>t
Adapun langkah-langkah yang dilakukan mufasir
dengan menggunakan metode tah}li>li>
yaitu sebagai berikut:
a. Memberikan keterangan tentang status ayat atau surat yang
sedang ditafsirkan dari segi Makkiyah
dan Mada>niyah.
b. Menjelaskan muna>sabah ayat atau surat.
c. Menjelaskan asba>b al-Nuzu>l
apabila ada riwayat yang mengenainya.
d. Menjelaskan makna al-Mufra>da>t
dari masing-masing ayat, serta unsur-unsur bahasa Arab
lainnya, seperti dari segi i’rab dan bala>gh, fas}a>h}ah}, baya>n, i’jaznya.
e. Menguraikan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
f.
Merumuskan dan menggali
hukum-hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut.
Sebagaimana metode sebelumnya, metode tah}li>li> juga
memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan kelebihan metode ini antara lain: (1).
Ruang lingkup kajian yang luas, artinya dapat dikembangkan dalam berbagai corak
penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. (2). Memuat berbagai
ide, dimana para mufassir diberi kesempatan yang luas untuk mencurahkan
ide-ide dan gagasanya dalam menafsirkan al-Qur’an. Artinya pola penafsiran
metode ini menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir, bahkan ide-ide jahat
dan ekstrim ditampungnya.
Adapun kekurangan metode ini antara lain : (1).
Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa
seakan-akan al-Qur’an memberikan pedoman secara utuh dan tidak konsisten,
karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat yang berbeda dari penafsiran
yang diberikan pada ayat-ayat yang lain sama dengannya. (2). Penafsiranya diwarnai
subjektifitas penafsir, metode ini memberikan peluang yang luas sekali kepada mufasir
untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga kadang-kadang ia
tidak sadar menafsirkan al-Qur’an secara subjektif, dan tidak mustahil
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsunya, tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah yang berlaku. (3). Masuknya pemikiran israi>liyya>t.
Dalam
penafsirannya memelihara naql dan akal, dira>yah dan riwa>yah,
dan tidak serta merta mengutip pendapat orang terdahulu, tetapi menggunakan
pola dan tujuannya. tafsir Al-Azha>r menggunakan kombinasi
metode tafsir bi al-ma’thu>r dan bi al-ra’y.
Dan
sistematika penafsiran dalam tafsir Al-Azha>r karya Hamka dengan
menggunakan metode analitis (tah}li>li>) adalah sebagai berikut:
1.
Tertib Uthma>ni>: dalam tafsir Al-Azha>r
karya Hamka menafsirkan ayat, surah, dan juz menggunakan tertib uthma>ni>,
hal ini dapat dilihat pada kitab tafsirnya secara umum, dan khususnya pada
daftar isi disetiap jilidnya.
2. Penjelasan hubungan
antar ayat: muna>sabah ayat di
dalam tafsir Al-Azha>r bisa dikatakan hampir mencakup seluruh ayat
yang ditafsirkannya. Contoh dalam surah Q.S. Hu>d ayat 108. “Adapun
orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang
lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” Di muna>sabah dengan Q.S. Al-Baqarah
ayat 261 “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”
3. Penjelasan hubungan
antar surah: muna>sabah antar surah juga tidak jauh beda, Hamka dalam menafsirkan dari surah satu ke surah
lain selalu menyelipkan hubungan antara keduanya. Contoh Surah Al-Anfa>l banyak menguraikan sikap
dalam perang kemudian dihubungkan dengan surah Baraah yang membahas tentang
peperangan.
4. Penjelasan asba>b
al-nuzu>l: Tafsir Al-Azha>r menampung
banyak riwayat-riwayat tentang asba>b al-nuzu>l.
5. Penjelasan dengan
hadis: satu kesatuan dari tafsir Al-Azha>r ini adalah terangkumnya segala jenis
sumber-sumber, tidak diragukan lagi juga banyak hadis-hadis yang dipaparkan
oleh Hamka dalam penafsirannya. Contoh, dalam menjelaskan ujung Q.S. Hu>d
ayat 102 yang berkenaan dengan siksa orang-orang d}alim “Sesungguhnya
azhab-Nya itu sangat pedih dan sangat berat”
dikaitkan dengan hadith riwayat Bukhari “Sesungguhnya Allah memberi
tempo yang panjang bagi orang yang d{alim itu. namun kelak apabila siksaan yang
dijanjikan-Nya itu adalah tidaklah dia akan terlepas”
6. Penjelasan pendapat
para ulama : pendapat qaul para ulama’ pun termasuk pada kelebihan yang
dimiliki pada tafsir ini.
Selain itu, dalam menulis tafsirnya
Hamka di antaranya melakukan beberapa langkah:
1. Memberikan
pendahuluan pada awal surat. Pendahuluan tersebut berisi informasi tentang
surat yang akan ditafsirkan, biasanya berkenaan dengan tempat turunnya surat
tersebut, hubunganya dengan surat yang telah lalu, jumlah ayat dan lain-lain.
2. Menuliskan beberapa
ayat yang dianggap satu tema. Biasanya setelah menuliskan ayat-ayat tersebut
dia memberikan judul tidak semuanya demikian.
3. Menerjemahkan
ayat-ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
4. Memberikan tafsiran
per-ayat. Tafsirannya lebih cenderung kepada bi al-ma’thu>r
dan bi al-ray, seperti dalam mukaddimahnya.
5. Dalam menyebutkan
hadis biasanya hanya menyebutkan sahabat yang membawa hadis tersebut dan mukha>rij-nya.