LOGIKA POLIGAMI



Oleh: Fauzi fii Sabilillah

Perbincangan Non-Muslim dalam hal ini adalah orang barat yang begitu membenci agama Islam lantaran agama Islam mengajarkan Jihad yang mereka maknai sebagai tindakan “Teroris”, membenci “Hijab” yang mereka maknai sebagai pengekangan terhadap hak perempuan dan menolak poligami karena sarat dengan “Nafsu”.  Kebencian “Barat”(non muslim)  terhadap Islam memang fitrah mereka benci terhadap Islam sebelum mengikuti millah mereka, selain itu karena ketidak fahaman memaknai ajaran Islam dan kesombongan yang menyebabkan hati mereka tertutup oleh Hidayah.

Poligami memang begitu menarik untuk dibahas. Ada kalangan yang menolak tanpa kompromi sama sekali, ada kalangang membolehkan dengan syarat ada juga yang membolehkan begitu saja. tidak sedikit orang Islam menolak tanpa syarat tentang praktek poligami. Arus kegelisahan dan penolakan poligami rata-rata adalah kalangan wanita. Pro dan Kontra poligami yang menjadi kegelisahan kalayak umum harus dimaknai secara benar sesuai dengan syariat Islam. Sebelum merujuk pada Dalil, maka mari berlogika dengan poligami.

Ada seorang ibu rumah tangga yang beranggapan bahwa poligami selalu diawali dengan perselingkuhan, sedangkan perselingkuhan adalah bentuk dari penghianatan, dan penghianatan adalah sesuatu yang dibenci Allah, bahkan pelaku poligami adalah mereka yang taat beragama menurutnya, pelakunya cenderung berjubah, berjengkot, dan bersorban layaknya Kiayi. Anggapan bahwa poligami selalu diawali dengan perselingkuhan ataupun  penghianatan  tentulah tidak benar, Nabi dan sebagian sabahat beliau berpoligami. Apakah mereka selingkuh? apakah juga nabi dan sahabat berkhianat kepada istrinya?  poligami yang telah dilakukan oleh nabi dan sebagian sahabat karena alasan tertentu yang mendatangkan kemaslahatan bagi pihak perempuan. Tidaklah nabi dan sahabat menikahi gadis-gadis perawan nan menawan, tapi para janda tua yang suaminya gugur dalam medan Jihad fisabilillah. Nabi ingin membeikan perlindungan dan bimbingan kepada mereka. Dalam sirah nabawiyah nabi menikah kedua kalinya setelah istri pertama Khotijah meninggal kemudian baru menikah dengan A’isyiyah.

Analogi sederhana poligami untuk kemaslahatan. Ratna dan Udin sudah menikah tujuh tahun. Namun belum dikarunia momongan, padahal Ratna dan Udin sudah mendambakan buah hati, begitu juga dengan keluarga Ratna dan Udin ingin segera memiliki cucu. Hal itu karena Ratna mandul dan mengidap penyakit kangker servik. Sehingga ratna tidak memiliki momongan dan Udin tidak bisa menyalurkan kebutuhan biologis dangan ratna lantaran penyakitnya.  Mari kita merenung sejenak. bukankah kemandulan dan penyakit parah lainya merupakan satu kemungkinan yang dapat terjadi pada istri ? bagaimana solusi istri kepada suami untuk menyalurkan kebutuhan biologis atau mendamban anak keturunan ? melarangnya berpoligami dapat mengundang perselingkuhan. Menahan kebutuhan biologisnya bukanlah fitrah manusia. Menceraikan istri, merupakan sebuah kedzoliman dan sebuah penganiayaan.  Jalan keluar yang paling tepat adalah poligami menikah lagi secara sah, dengan syarat mendatangkan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan, adil serta pengertian dari istri pertama.

Dalam firmanya Qs. An-Nisa’ ayat 3: “ dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ayat diatas memberikan gambaran. Jika adanya rasa “takut”  tidak bisa berlaku adil maka cukup kawini satu saja. Jika yakin dengan kenyakinan yang begitu kuat dan  pertimbangan yang begitu matang maka diperbolehkan lebih dari satu maksimal empat. Yang menjadi titik tekan yang harus digaris bawahi adalah “yakin haqul yakin bisa adil”  Berlaku adil. perlakuan yang adil dalam melayani istri seperti pakaian, tempat, giliran, nafkah, perhatian  cinta dan kasih sayang.

Poligami dibenarkan agama dengan syarat-syarat tertentu M. Quraish Shihab menganalogikan poligami bagaikan pintu darurat pesawat. Tidak boleh dibuka kecuali atas izin pilot dalam kondisi yang sangat gawat. Yang duduk di kursi pintu darurat haruslah memenuhi syarat, yakni mampu dan mengetahui cara-cara membukanya. Siapa yang berselingkuh tentu bukanlah orang yang taat beragama. ang taat beragama berfikir sekian kali sebelum berpoligami,apakah sudah memenuhi syarat dan mameng sangat membutuhkan. 

Inilah mengapa agama Islam membolehkan pologami, karena sejatinya Islam adalah agama yang memberi solusi dalam kehidupan dunia dan akhirat. dan tulisan ini sedikit menjawab kegelisahan dan pergulatan pro-konta poligami.

MENGENAL LEBIH DEKAT HAMKA & TAFSIR AL-AZHAR





Oleh: Fauzi Fii Sabilillah.
                  Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang kerap disapa Hamka adalah karunia indah dari Allah kepada bangsa Indonesia, beliau adalah ulama, cendekiawan, pahlawan Nasional yang dikenal hingga penjuru dunia, atas keluasan ilmunya dan perjuanganya dalam Islam. Oleh karenanya mari kita seimak biografi Hamka, karya,karir dan tafsir Al-Azhar.

A.  Biografi dan Setting Sosio-Histori Buya Hamka.
1.      Biografi Buya Hamka
Hamka lahir di kampung Molek, Maninjau Sumatera Barat pada tanggal 17 Ferbruari 1908 M. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Namun ia lebih akrab dipanggil Hamka, yang merupakan singkatan dari namanya sendiri. Sebutan Buya di depan namanya tak lain merupakan panggilan buat orang Minangkabau yang berarti ayah kami atau seseorang yang dihormati. Sebutan buya merupakan saduran dari bahasa Arab, abi atau abuya.
Ayahnya bernama Abdul Karim bin Amrullah yang juga dikenal sebagai Haji Rasul. Sang ayah adalah pelopor gerakan islah (reformasi) di Minangkabau, Sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906 M. Hamka mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau hingga Darjah Dua (kelas dua). Ketika ayahnya mendirikan  Sumatera Thawalieb di padang Panjang, Hamka yang berusia 10 tahun segera pindah ke lembaga tersebut, di situ Hamka mempelajari bahasa Arab. Hamka juga mendaras ilmu-ilmu agama di surau dan masjid yang diasuh sejumlah ulama terkenal seperti Sutan Mansur, RM. Surjopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, Syekh Ahmad Rasyid, dan Syekh Ibrahim Musa.[1]
Mulai tahun 1916 sampai 1923 (kurang lebih tujuh tahun), ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek. Di antara gurunya waktu itu adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim dan Engku Zainuddin Labay el-Yunusy. Guru yang terakhir ini banyak memberi pengaruh terhadap perkembangan intelektual dan pemikiran keagamaan Hamka. Sambil bekerja pada percetakan dan perpustakaan milik Engku Zainuddin bersama Engku Datuk Sinaro, dengan kemampuan bahasa Arab dan ingatannya yang kuat,  ia menyempatkan diri membaca bermacam-macam buku tentang agama, filsafat, hingga sastera. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran filsafat Arsitoteles, Plato, Pythagoras, Plotinus, Ptolemeus dan lain-lain dalam usia yang masih muda.
Pergaulannya dengan Engku Zainddin semakin membangkitkan gairah intelektualnya. Namun setelah guru yang dicintainya itu wafat, ia merasa gairah dan semangat intelektualnya tidak lagi tersahuti di Padangpanjang. Oleh karena itu, ia berhasrat merantau, dan yang ditujunya adalah pulau Jawa, tempat kakak iparnya A.R. Sutan Mansur yakni Pekalongan.
Hamka tidak langsung ke Pekalongan melainkan ke Yogyakarta (1924), untuk sementara Hamka tinggal bersama pamannya (adik dari ayahnya), Ja’far Amrullah, di desa Ngampilan. Oleh pamannya, ia diajak mendalami  kitab-kitab penting kepada beberapa ulama waktu itu, seperti Ki Bagus Hadikusumo untuk bidang tafsir,[2] R.M. Soeryopranoto dalam bidang sosiologi, K.H. Mas Mansur tentang filsafat dan tarikh Islam, Haji Fachruddin, H.O.S. Tjokroaminoto dalam bidang Islam dan Sosialisme, Mirza Wali Ahmad Baig,[3] A. Hassan Bandung, dan terutama A.R. Sutan Mansur.
Perjumpaannya dengan tokoh-tokoh pemikir dan ulama dengan basic keilmuan yang berbeda tersebut, tentu berpengaruh baginya dalam  memperkaya wawasan dengan spektrum keilmuan yang luas. Tidak mengherankan jika Hamka selanjutnya termasuk pemikir atau ulama yang generalis. Sebagai bias keluasan pandangan tersebut, misalnya, ia berbeda dalam beberapa aspek pemikiran dengan gurunya A.R. Sutan Mansur. Salah satu perbedaan tersebut adalah metode dan pendekatan yang mereka gunakan dalam memahami universalitas Islam. Hamka dalam hal ini concern pada diskursus yang lebih bebas dan tidak membatasi diri pada bidang keilmuan tertentu, sementara A.R. Sutan Mansur concern pada pemikiran yang ketat menyandarkan pandangan kepada Al-Quran dan Hadith.[4]
Pada tahun 1927 (usia 19 tahun), dengan maksud menuntut ilmu beberapa tahun, ia berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah Haji, sambil menjadi koresponden pada harian “Pelita Andalas” di Medan. Di Makkah, ia berjumpa dengan H. Agus Salim, pimpinan Sarekat Islam (SI). Agus Salim menasehati agar tidak usah terlalu lama di Makkah, sebab Makkah bukan tempat menuntut ilmu, akan tetapi tempat untuk meperbanyak ibadah. Oleh karena itu, jika niatnya menuntut ilmu, maka Agus Salim menganjurkan untuk belajar di tanah air saja

2.      Karir dan Karya Buya Hamka.
Pada tahun 1927 M, Hamka mulai pengabdian terhadap ilmu pengetahuan dengan menjadi guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 M, menekuni profesi serupa di Padang panjang. Pada tahun 1957 M-1958 M, Hamka dilantik sebagai dosen Universitas Islam Jakarta dan universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Jabatan prestisius sebagai rektor juga pernah dikecapnya pada perguruan tinggi Islam Jakarta.
Dengan kecakapannya berbahasa Arab, Hamka menelaah karya ulama pujangga  besar timur tengah, seperti Mus}t}afa> al-Manfaluti, ‘Abba>s al-Aqqat}, H{usain Haikal, Jurji Zaidan, dan Zaki Muba>rak. Karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman semisal Albert Camus, William James, Singmund Freud, Arnold Tonybene, Jean Paul Sarte, Karl Marx, dan Pierre Loti juga tak luput dari penelaahnya.[5]
Pada tahun 1925, Hamka turut membidani deklarasi berdirinya Muhamadiyah. Pada tahun 1928 M, Hamka menjadi ketua Muhamadiyah Padang Panjang. Dua tahun kemudian menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Pada tahun 1946 M, Hamka didaulat sebagai Ketua Majelis pimpinan Muhamadiyah di Sumatera Barat. Jabatan penasihat pimpinan pusat Muhamadiyah disandangnya pada tahun 1953.  Di jalur politik, Hamka terdaftar sebagai anggota Serikat Islam. Pada tahun 1947, Hamka dilantik sebagai anggota Masyumi.[6] Dalam pemerintahan Hamka menjabat sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1977-1981. Pada
Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pada usia 73 tahun. Pada tanggal 10 November 2011, Prof. Dr. Buya Hamka telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai dengan Keppres No. 113/tk/2011. Hamka menjadi ketua yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar dari tahun 1972 sampai akir hayat.[7]
Buya Hamka adalah seorang penulis yang produktif. Diantara karyanya adalah:[8]
a.       Khatib al-Ummah, Padang Panjang. Merupakan karya pertama yang disusun dan disunting dari hasil ceramah di berbagai tempat. Terdiri dari jilid 1-3 ditebitkan tahun 1925.
b.      Si Sabariah, adalah buku pertama romannya dalam bahasa Minangkabau, diterbitkan tahun 1928.
c.       Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya tahun 1950.
d.      Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas tahun 1950
e.       Empat Bulan di Amerika, Jakarta: Tinta Mas, 1954. Buku ini berisi tentang perjalanan Hamka selama di Amerika.
f.        Di Bawah Lindungan Ka'bah, Jakarta: Balai Pustaka, 1957. Buku ini merupakan sebuah novel yang telah difilmkan.
g.       Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya tahun 1958. Buku ini ditulis sebagai kenangan kepada ayahnya.
h.       Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tinta Mas, 1965. sebelum di bukukan awalnya merupakan naskah yang disampakan Hamka pada cermah ilmiah saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
i.         Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Buku ini merupakan novel yang juga telah difilmkan.
j.        Kenang-Kenangan Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Buku ini menceritakan perjalanan hidup Hamka sejak tahun 1908 hingga 1950.
k.      Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi tahun 1963. Buku ini dicetak kembali oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1982.
l.         Tasauf Modern, Jakarta: Panjimas tahun 1990.

3.      Karya Buya Hamka dalam Bidang Tafsir.
Karya Hamka di bidang tafsir adalah tafsir Al-Azha>r, di dalamnya Hamka menggabungkan sejarah Islam modern dengan studi al-Qur’an dan berusaha melangkah keluar dari penafsiran-penafsiran tradisional. Titik tekannya adalah menguak ajaran al-Qur’an dan menyesuaikan konteksnya dalam ranah keislaman.[9] Sebagaimana telah kita bayangkan, tafsir itu membawa corak pandang hidup penafsir. Dan juga haluan dan madhabnya. Oleh sebab itu “tafsir al-Azha>r” ini ditulis dalam suasana baru, di negara yang penduduk muslim lebih besar jumlahnya dari penduduk yang lain, sedang mereka haus akan bimbingan agama haus hendak akan mengetahui  rahasia al-Qur’an, maka pertikaian-pertikaian madhab tidak dibawa dalam tafsir ini, dan  penulisnya tidak ta’as}u>b kepada suatu paham, melainkan mencoba segala upaya mendekati maksud ayat, menguraikan makna dari lafal bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan memberi kesempatan orang untuk berpikir.
Madhab yang dianut oleh penafsir ini adalah madhab salaf, yaitu madhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan Ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. dalam hal akidah dan ibadah, semata-mata taslim artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi. Tetapi tidaklah semata-mata taqli>d kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yang lebih dekat kepada kebenaran untuk diikuti, dan meninggalkan mana jauh yang menyimpang. Meskipun penyimpangan yang jauh itu, bukanlah atas suatu sengaja yang buruk dari yang mengeluarkan pendapat itu.[10]
Tafsir Al-Azha>r merupakan karya terbesarnya, ditulis saat berada dalam tahanan era  Orde Lama. Tafsir Al-Azha>r  pertama kali diterbitkan  oleh Pembimbing Masa dari juz satu hingga empat. Juz 30 hingga 15 diterbitkan oleh Pustaka Islam Surabaya. Juz 5 sampai 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.[11]
Sebelum betul-betul masuk dalam tafsir ayat Al-Qur’an, sang mufasir terlebih dahulu memberikan banyak pembukaan, yang terdiri dari:  Kata pengantar, pandahuluan, Al-Qur’an, i’jâz Al-Qur’an, isi mu’jizat Al-Qur’an, Al-Qur’an lafaz dan makna, menafsirkan Al-Qur’an, haluan tafsir, mengapa diberi nama “Tafsir Al-Azhar” dan hikmat Ilahi.

B.       Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Azha>r.
Dalam Kata Pengantar, Hamka menyebut beberapa nama yang ia anggap berjasa bagi dirinya dalam pengembaraan dan pengembangan keilmuan keislaman yang ia jalani. Nama-nama yang disebutnya itu boleh jadi merupakan orang-orang pemberi motivasi untuk segala karya cipta dan dedikasinya terhadap pengembangan dan penyebarluasan ilmu-ilmu keislaman, tidak terkecuali karya tafsirnya. Nama-nama tersebut selain disebut Hamka sebagai orang-orang tua dan saudara-saudaranya, juga disebutnya sebagai guru-gurunya. Nama-nama itu antara lain, ayahnya sendiri yang merupakan gurunya sendiri, Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, Syaikh Muhammad Amrullah (kakek), Abdullah Shalih (Kakek Bapaknya).[12]
Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid Al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959. Ketika itu, masjid belum bernama Al-Azhar. Pada waktu yang sama, Hamka dan K.H. Fakih Usman dan H.M. Yusuf Ahmad, menerbitkan majalah Panji Masyarakkat.[13]
Baru kemudian, Nama al-Azhar bagi masjid tersebut diberikan oleh Syeikh Mahmud Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia pada Desember 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir Hamka dengan nama Tafsir Al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid Agung Al-Azhar.[14]
Terdapat beberapa faktor yang mendorong Hamka untuk menghasilkan karya tafsir tersebut. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Hamka dalam muqadimah kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginan beliau untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Quran, tetapi terhalang akibat ketidak mampuan mereka menguasai ilmu bahasa Arab. Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber bahasa Arab. Hamka memulai tafsir Al-Azha>r dari surah Al-Mukminun karena beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya.[15]
Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”. Pada tanggal 12 Rabi’ al-awwal 1383H/27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya. Penerbitan pertama Tafsir Al-Azha>r dilakukan oleh penerbitan Pembimbing Masa, pimpinan Haji Mahmud. Cetakan pertama, merampungkan penerbitan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian diterbitkan pula juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan akhirnya juz 5 samapai juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.

C.       Metode Penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azha>r.
Terdapat empat metodelogi penafsiran  yang berkembang sepanjang sejarah,[16] diantaranya: Muqar>in (perbandingan),[17] maud}u>’i (tematik),[18]  ijma>li>> (global)[19] dan tah}li>li> (analitis).[20]
Dari empat macam metode penafsiran tersebut, tafsir Al-Azha>r menggunakan  metode analitis (tah}li>li>). Metode tah}li>li> adalah “Salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Seorang penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara runtut dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf  uthma>ni>>, untuk itu menguraikan kosa kata dan lafal, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga unsur i’ja>z dan bala>ghah, serta kandunganya dalam berbagai aspek pengetahuan dan hukum.
Sistematika metode tah}li>li> (analitis) biasanya diawali dengan mengemukakan korelasi munasabah (hubungan) ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain. Dan penafsiran dengan metode tah}li>li>  tidak mengabaikan asba>b al nuzu>l  suatu ayat. Dan dalam pembahasanya, penafsir biasanya merujuk riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi, sahabat maupun ungkapan-ungkapan Arab pra Islam dan kisah isra’i>liya>t [21]
Adapun langkah-langkah yang dilakukan mufasir dengan menggunakan metode tah}li>li> yaitu sebagai berikut:
a.       Memberikan keterangan tentang status ayat atau surat yang sedang ditafsirkan dari segi Makkiyah dan Mada>niyah.
b.      Menjelaskan muna>sabah ayat atau surat.
c.       Menjelaskan asba>b al-Nuzu>l apabila ada riwayat yang mengenainya.
d.      Menjelaskan makna al-Mufra>da>t dari masing-masing ayat, serta unsur-unsur bahasa Arab lainnya, seperti dari segi i’rab dan bala>gh, fas}a>h}ah}, baya>n, i’jaznya.
e.       Menguraikan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
f.        Merumuskan dan menggali hukum-hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut.
Sebagaimana metode sebelumnya, metode tah}li>li> juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan kelebihan metode ini antara lain: (1). Ruang lingkup kajian yang luas, artinya dapat dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. (2). Memuat berbagai ide, dimana para mufassir diberi kesempatan yang luas untuk mencurahkan ide-ide dan gagasanya dalam menafsirkan al-Qur’an. Artinya pola penafsiran metode ini menampung berbagai ide yang terpendam  di dalam benak mufasir, bahkan ide-ide jahat dan ekstrim ditampungnya.[22]
Adapun kekurangan metode ini antara lain : (1). Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur’an memberikan pedoman secara utuh dan tidak konsisten, karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat yang berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat yang lain sama dengannya. (2). Penafsiranya diwarnai subjektifitas penafsir, metode ini memberikan peluang yang luas sekali kepada mufasir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga kadang-kadang ia tidak sadar menafsirkan al-Qur’an secara subjektif, dan tidak mustahil menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsunya, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang berlaku. (3). Masuknya pemikiran israi>liyya>t.[23]
Dalam penafsirannya memelihara naql dan akal, dira>yah dan riwa>yah, dan tidak serta merta mengutip pendapat orang terdahulu, tetapi menggunakan pola dan tujuannya. tafsir Al-Azha>r menggunakan kombinasi metode tafsir bi al-ma’thu>r dan bi al-ra’y.
Dan sistematika penafsiran dalam tafsir Al-Azha>r karya Hamka dengan menggunakan metode analitis (tah}li>li>) adalah sebagai berikut:
1.         Tertib Uthma>ni>: dalam tafsir Al-Azha>r karya Hamka menafsirkan ayat, surah, dan juz menggunakan tertib uthma>ni>, hal ini dapat dilihat pada kitab tafsirnya secara umum, dan khususnya pada daftar isi disetiap jilidnya.
2.      Penjelasan hubungan antar ayat: muna>sabah  ayat di dalam tafsir Al-Azha>r bisa dikatakan hampir mencakup seluruh ayat yang ditafsirkannya. Contoh dalam surah Q.S. Hu>d ayat 108. “Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  Di muna>sabah dengan Q.S. Al-Baqarah ayat 261 “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”
3.      Penjelasan hubungan antar surah: muna>sabah antar surah juga tidak jauh beda, Hamka  dalam menafsirkan dari surah satu ke surah lain selalu menyelipkan hubungan antara keduanya. Contoh Surah Al-Anfa>l banyak menguraikan sikap dalam perang kemudian dihubungkan dengan surah Baraah yang membahas tentang peperangan.
4.      Penjelasan asba>b al-nuzu>l: Tafsir Al-Azha>r menampung banyak riwayat-riwayat tentang asba>b al-nuzu>l.
5.      Penjelasan dengan hadis: satu kesatuan dari tafsir Al-Azha>r  ini adalah terangkumnya segala jenis sumber-sumber, tidak diragukan lagi juga banyak hadis-hadis yang dipaparkan oleh Hamka dalam penafsirannya. Contoh, dalam menjelaskan ujung Q.S. Hu>d ayat 102 yang berkenaan dengan siksa orang-orang d}alim “Sesungguhnya azhab-Nya itu sangat pedih dan sangat berat” [24] dikaitkan dengan hadith riwayat Bukhari “Sesungguhnya Allah memberi tempo yang panjang bagi orang yang d{alim itu. namun kelak apabila siksaan yang dijanjikan-Nya itu adalah tidaklah dia akan terlepas”[25]
6.      Penjelasan pendapat para ulama : pendapat qaul para ulama’ pun termasuk pada kelebihan yang dimiliki pada tafsir ini.[26]
Selain itu, dalam menulis tafsirnya Hamka di antaranya melakukan beberapa langkah:
1.      Memberikan pendahuluan pada awal surat. Pendahuluan tersebut berisi informasi tentang surat yang akan ditafsirkan, biasanya berkenaan dengan tempat turunnya surat tersebut, hubunganya dengan surat yang telah lalu, jumlah ayat dan lain-lain.
2.      Menuliskan beberapa ayat yang dianggap satu tema. Biasanya setelah menuliskan ayat-ayat tersebut dia memberikan judul tidak semuanya demikian.
3.      Menerjemahkan ayat-ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
4.      Memberikan tafsiran per-ayat. Tafsirannya lebih cenderung kepada bi al-ma’thu>r dan bi al-ray, seperti dalam mukaddimahnya.
5.      Dalam menyebutkan hadis biasanya hanya menyebutkan sahabat yang membawa hadis tersebut dan mukha>rij-nya.[27]














[1] Saiful Ghofur, Profil Mufasir al-Qur’an, (Pustaka Insani Madani: Yogyakarta, 2008) 209.
[2] Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 96-98.
[3] Ibid.,  97-98.
[4] Lihat M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia dan Prilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1996), 202.
[5] Ibid., 210.
[6] Ibid., 211.
[7]  Alfian Alfian, Hamka dan Bahagia, 21.
[8] Yeni Setiyaningsih, “Karakteristisk Tafsir Al-Azhar: Telaah Konteks Ke-Indonesia-an Dalam Tafsir Al-Azhar Karya Hamka,” (Skripsi, STAIN Ponorogo, Ponorogo, 2001), 66-67.
[9] Ibid., 212.
[10] Hamka, Tafsir Al-Azha>r, Vol.1 (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas,  1982), 53-54.
[11] Yeni Setiyaningsih, “Karakteristisk Tafsir Al-Azhar: Telaah Konteks Ke-Indonesia-an Dalam Tafsir Al-Azhar Karya Hamka,” (Skripsi, STAIN Ponorogo, Ponorogo, 2001), 67.
[12] Hamka, Tafsir Al-Azha>r, Vol.I, 1.
[13] Ibid.,64.
[14] Ibid.
[15] Ibid., 1.

[16] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2010),72.
[17] Metode muqa>rin adalah upaya menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Rodiah dkk, Studi al-Qur’an metode dan konsep, (Yogyakarta: elsaQ Press, 2010), 6.
[18] Metode maudu’i adalah membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau dengan judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan topik tersebut dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala aspeknya seperti asba>b al-nuzu>l, kosa kata, istinba>t (penetapan) hukum, dan lain-lain. Semua itu dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil dan fakta (kalau ada) yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari al-Qur’an dan hadis, maupun pemikiran rasional. Imam Musbikin, Mutiara al-Qur’an, 37.
[19] Metode ijma>li> adalah metode penafsiran al-Qur’an dengan secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar.[19] Sedangkan yang dimaksud metode global adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tapi mencakup; di dalam bahasa yang jelas dan populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Dan sistematika penulisanya menuruti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, 67.
[20]Metode tah}li>li> adalah “Salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Seorang penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara runtut dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf  uthma>ni>>,.  M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, 41
[21] M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:Teras, 2010), 41-42.
[22] Imam Musbikin, Mutiara al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 34.
[23] Ibid., 34-35.
[24]  Hamka, Tafsir al-Azha>r, Vol.XII, 127.
[25] Ibid.,128.
[26] Lihat sistematika penafsiran dalam tafsir al-Azha>r.
[27] Lihat sistematika langkah-langkah penulisan dalam tafsir al-Azha>r  dalam setiap jilidnya.