BAHAGIA DALAM PERSPEKTIF TASAWUF




Oleh: Fauzi Fii Sabililah
Sebelum mengkaji lebih mendalam makna bahagia dalam kajian tasawauf, maka perlu dipahami yang disebut dengan tasawuf. Arti kata tasawuf dan pertikaian ahli-ahli logat. Setengahnya berkata bahwa perkataan itu dambil dari kata shafa’, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Kata setengahnya dari perkataan shuf artinya bulu binatang,[1] sebab orang-orang yang memasuki tasawuf mamakai pakaian dari bulu binatang, karena membenci mengmakai pakaian yang indah-indah. Dan kata setengahnya diambil dari kau shuffah, yakni sekelompok sahabat nabi yang menyisihkan dirinya di tempat terpencil di samping masjid nabi.[2] Tasawuf juga merupakan cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam.[3]

Sebelum membahas bahagia perlu penulis paparkan sejarah tasawuf terlebih dahulu agar memudahkan memahami pembahasan selanjutnya.  Agama dan kehidupan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan budaya umat manusia. Dalam sejarah kebudayaan manusia, agama dan kehidupan beragama telah menjalar disegala lini kehidupan, bahkan menberi corak tersendiri dalam setiap perilaku budaya. Agama dan perilaku keagamaan terus tumbuh berkembang seiring ketergantungan manusia kepada sesuatu yang berasal dari kekuatan yang goib (supranatural) yang selama ini mereka rasakan sebagai sumber kehidupan. Mereka harus tetap berkomunikasi, memohon bantuan, dan pertolongan kepada kekuatan goib tersebut agar mendapatkan kehidupan yang aman, selamat, sejahtera, dan bahagia. Tapi, tentang apa dan siapa kekuatan goib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan itu, serta bagaimana mereka berkomunikasi dan memohon perlindungan, mereka kurang begitu memahami hakikatnya, meraka hanya merasakan adanya kebutuhan terhadap bantuan dan perlindunganya. Itulah awal dari timbunya perasaan beragama yang merupakan desakan dari sisi internal dan mendorong terciptanya perilaku keagamaan.[4] Dorongan internal yang diimplementasi akan dalam amal itulah yang akan mendatangkan kebahagiaan.

Dilatar belakangi dari kebutuhan manusia terhadap jalan yang dapat menuntun ke jalan fitrahnya sebagai makhluk, maka dalam sejarah, Allah telah memerintahkan kepada utusanya untuk mengajarkan pola kehidupan manusia beragama yang benar kepada setiap umatnya. Dan juga bagaimana cara mengatar kehidupan makhluk di alam semesta ini. Itu semua bertujuan supaya kehidupan yang dijalani oleh umat manusia bisa menjadi lebih baik.

Nabi Muhammad SAW. sebagai rasul terakhir dan Rahmatin lil’A<lami>n telah membawa agama penyempurna terhadap agama-agama terdahulu, berbeda agama nabi dan rasul terdahulu hanya untuk kaumnya saja. Agama yang dibawa nabi Muhmmad tersebut kemudian dikenal denga sebutan Islam. dalam  Q.S  Al-Maidah ayat 3 Allah berfirman: [5]
Artinya : ”pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan     kepadamu nikmat ku dan telah ku rida’i Islam itu menjadi agama bagimu.”

Term tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad dua hijriah,[6] sebagai perkembangan lanjut dari para zahid yang mengelompok di masjid Madinah. Dalam perjalanan untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Oleh hidup yang demikian merupakan awal tumbuhnya tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini dapat disebut denganfase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatianya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai abad dua hijriah sampai abad tiga hijriah sesudah terlihat adanya peralihan kongkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini apat disebut sebagai fase kedua,  yang ditandai antara lain perubahan sebutan zahid menjadi Sufi. Disisi lain pada kurun waktu ini para zahid sudah sampai pada persolaan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaanya dan perbincangan masalah teoritis lainya.

a.       Bahagia Dalam Kajian Tokoh Tasawuf.
Kajian bahagia menurut Ibn Miskawayh menyatakan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang paling nikmat, paling utama, paling baik, dan paling sejati. Aspek nikmat dalam kebahagiaan terbagi menjadi dua bagian, kenikmatan pasif dan kenikmatan aktif. Kenikmatan pasif dimiliki oleh manusia dan binatang tak berakal, lantaran kenikmatan pasif ini disertai hawa nafsu serta kesukaan membalas dendam. Kenikmatan aktif dikhususkan buat hewan berakal. Karena tidak bersifat material dan tidak teragitasi, maka kenikmatan ini sempurna dan esensial, sedang yang pertama bersifat aksidental (pergantian) dan tidak sempurna.[7]

Tokoh tasawuf lainya yakni Al-Gazali, jika setiap sesuatu ialah dirasakan nikmat kesenangan dan kelezatanya, dan kelezatan ialah terlihat rupa yang indah, kenikmatan telinga terletak pada mendengar suara yang merdu, demikian pula seluruh anggota tubuh manusia yang lain. Adapun kelezatan ialah teguh ma’rifat  kepada Allah, karena hati itu dijadikan untuk mengingat setiap yang dahulunya belum dikenal oleh manusia, bukan membaut manusia gembira jika telah dikenalnya. Tak ubahnya seperti orang yang baru pandai bermain catur, dia tidak berhenti-henti untuk bermain meskipun telah dilarang berkali-kali, tidak sabar hatinya jika tidak bertemu papan catur itu. Demikian pula hati yang dahulunya belum ma’rifat kepada tuhanya, kemudian dia mengenal nikmat tuhan-Nya, sangatlah gembira dan tidak sabar untuk bertemu dengan tuhan-Nya.[8]
Imam Al-Ghazali membagi kebahagiaan yang sempurna menjadi tiga kekuatan, yaitu :
1)      Kekuatan Marah
2)      Kekuatan Syahwat
3)      Kekuatan Ilmu
Manusia sangatlah memerlukan ketiga kekuatan tersebut. Pertama, kekuatan marah. Jangan berlebih-lebihan menurutkan kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudah yang sukar dan membawa kebinasaan. Kedua, kekuatan syahwat Imam Al-Ghazali menuturkan, jangan pula berlebih-lebihan dalam kekuatan syahwat sehingga menjadikan kerusakan. Ketiga, Ilmu merupakan kekuatan yang besar dalam mencari kebahagiaan, karena dengan ilmu manusia akan mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang manfaat dan yang tidak manfaat, dan yang mendatangkan kebahagiaan dan kesengsaraan. Jka kekuatan marah, syahwat dan ilmu ditimbang baik-baik dan diletakan di tengah lurusalah perjalanan menuju petunjuk tuhan. Jika kemarahan diletakan pada tempatnya maka akan menjadikan marah itu sebuah kebaikan, marah yang berdasarkan ketaatan, maranya akan mengeluarkan kata-kata yang tidak menyakitkan yang mendengar, tindakan yang bijaksana dan hati yang selalu tenteram. Marah merupakan perilaku tercela, akan tetapi marah juga dibutuhkan disaat agama dilecehkan, dan kedzoliman terjadi, maka sebagai seorang muslim harus marah, dengan amal ma’ru>f nahi munkar. [9]

Demikian halnya pada syahwat, jika syahwat ditambah-tambah akan terjadi fasiq (melangar perintah Tuhan), kalau syahwat kurang tangguh, terjadilah kelemahan hati dan pemalas, kalau syahwat berjalan ditengah-tengah timbulah ‘iffah, artinya dapat memerintah diri sendiri, dan qana’ah, yakni cukup dengan apa yang ada dan tidak berhenti berusaha.[10]

b.   Tingkatan  Kesempurnaan Bahagia Dalam Tasawuf.
Dalam mencapai puncak kesempurnaan bahagia yang dijalani kaum sufi pada umumnya terdiri dari  taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rid{a, dan tawakal.[11]
1) Taubat
Menurut Qomar Kailani, taubat adalah rasa penyesalan yang sunguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang meninggalkan dosa.[12]  Sementara itu Al-Ghazali mengklasifikasi tabat sebagai berikut:
 a)  Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih    kepada kebaikan karena takut pada siksa Allah.
b)      Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi  yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf seperti ini sering disebut ina>bah.
c)      Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah.[13]
Selain itu tobat memiki tiga sifat. Pertama, Ilmu. Karena tobat bisa menjadi penghalang antara hamba dan perolehan rid{a Allah serta surga-Nya. Kedua, penyesalan atas tidak taat kepada Allah serta maksiat yang telah dilakukan. Ketiga, kemantapan niat untuk tindakan saat ini, yakni meninggalakn perbuatan dosa.[14]
2)      Zuhud
Secara etimologi zuhud berarti raghaba ‘anshai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkanya. Zahada fi al-dunya, mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[15]
Tokoh-tokoh Tasawuf berbeda pendapat tentang zuhud. Al-Ghazali berpendapat zuhud sebagai sifat mengurangi ketertarikan pada dunia untuk menjauhi dengan penuh kesadaran. Al-Qurshairi mengartikan zuhud sebagai sikap menerima rizki yang diterimanya.  Jika makmur ia akan merasa gembira, dan jika miskin ia tidak akan bersedih. Hazan Al-Bashri mengatakan zuhud adalah meniggalkan kehidupan dunia, karena dunia tidak ubahnya seperti ular yang licin bila dipegang, tapi racunya membunuh.[16]
3)      Faqr
Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Faqr  dapat berarti sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sifat faqr penting dimiliki orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya  membuat jiwanya tertambat pada selain Allah.[17]
4)    S}abr
S}abr  atau sabar adalah menahan diri dari keluh kesah, menahan lisan dari mengadu, dan menahan anggota tubuh dari perbuatan kerusakan dan semacamnya.[18]
Jika sabar dipandang sebagai perkembangan tuntutan nafsu dan amarah, Al-Ghazali menggolongkan sabar menjadi dua aspek, yaitu  kesabaan jiwa (Ash-Shabr An-Nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sabar badani (ash-Shabr Al-Badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misal menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[19]
Menurut Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam,   yaitu:
a) Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-nya dan    menjahui laranga-nya.
b)      Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
c)                                                                  Bersabar kepada Allah, yaitu bersabar terhadap rizki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.[20]
5)      Shukr
Shukr  atau Syukur adalah ungkapan terimakasih atas nikmat yang diterima, syukur diperlukan Karena semua yang dilakukan dan dimiliki adalah karunia Allah.[21]
Syukur di dalam kesempurnaan-Nya memiliki tiga hal yang harus dipenuhi. Pertama, mengetahui hikmah nikmat dari sang pemberi nikmat akan nikmat tersebut dapat dinikmati. Kedua, tawaduk dan tunduk kepada sang pemberi nikmat atas nikmatnya. Ketiga, mengamalkan tuntunan nikmat. amalan ini berkaitan dengan pengakuan hati, perayaan lisan dan tindakan anggota tubuh.[22]
  
6)      Rid{a
Rid{a berarti menerima dengan puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah, orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan terhadap cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya.[23]
Menurut Abdul Halim Mahmud, rid{a mendorong manusia untuk  berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang ia cintai yakni Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan apapun akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.[24]
7)      Tawakal
Tawakal merupakan salah satu tingkatan agung diantara maqa>mat> kaum al-abra>r,  Dhu> Al-Nu>N berkata: Tawakal adalah khal’ al-arba>b wa qath’ al-asba>b yakni menanggalkan tuhan-tuhan dan memutus sebab-sebab.[25] Tawakal merupakan keteguhan hati dalam menggantukan diri hanya kepada Allah.[26]
Itulah tingkatan kaum sufi untuk mencapai bahagia


[1]  Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf  (Jakarta: Airlangga, 2006), 2.
[2]  Abu Fattah Sayid Ahmad, Tasawuf antara Al-G{azali dan Ibn Taimiyah  (Jakarta: Khalifa, 2000), 9.
[3]  Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf,  2.
[4] Tim karya ilmiah putra siswa 2011, Jejak Sufi: Membangun Moral Berbasis Spiritual (Kediri: Lirboyo press, 2011), 3.
[5] al-Qur’an, 5: 3.
[6] Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Susifme (Jakarta: Rajawali pers, 2002), 36.
[7]  Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak : the Ferinement Characther, (Bandung: Mizan, 1998), 109. 
[8] Hamka, Tasauf Modern, 22.
[9]  Hamka, Tasauf Modern, 23.
[10]  Ibid.
[11]  Solihin, Ilmu Tsawuf  (Bandung: CV. Setia Pustaka, 2008), 78.
[12]  Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf ( Bandung: CV. Setia Pustaka, 2008), 78.
[13]  Lihat Al-Ghazali, Ihya>’ Ulu>mudi>n, Jilid IV, 10-11.
[14]  Yahya Ibn Hamzah al-Yamani, Taskiyatun Nafs (Jakarta: Zaman, 2012), 373.
[15]  Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), 1.
[16]  Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,  79.
[17]  Ibid.
[18]  Ulya Ali Ubaid, Sabar dan Syukur (Jakarta: Amzah, 2012), 9.
[19]  Ghazali, Ihya>’, 58-59
[20] Amsal Bakhtiar, ”Tarekat Qadiriyah: Peelopor Aliran-aliran Tarekat di dunia Islam,” (Jakarta: Jurnal Refleksi UIN Syarif Hidayatullah, 2004), 14.
[21]   Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, 81.
[22]  Yahya ibn Hamzah Al-Yamani, Tazkiyatun Nafs, 394.
[23]  Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, 82.
[24]  Ibid.
[25]  Syekh Yahya ibn Hamzah al-Yamani, Taskiyatun Nafs, 460.
[26]  Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar