Oleh: Fauzi Fii Sabilillah
Psikologi
merupakan ilmu yang mempelajari prilaku manusia secera umum dari segi mental,
baik yang bersifat perasaan atau pun jiwa, yang bisa digunakan untuk mengatahui
karakter, sifat dan perilaku manusia. Secara terminologi “psikologi” berasal dari bahasa Yunani psyche yang berarti jiwa, sedangkan logos yang
berarti pengetahuan.[1]
Secara terminologi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. [2]
Atau bisa disederhanakan psikologi adalah ilmu jiwa.[3]
Kajian
Kebahagiaan Menurut Psikologi sebagai berikut:
a. Psikoanalisa
Psikoanalisa disebut juga aliran “psikologi dalam” (depth
psychology), yang terkenal dengan teori alam bawah sadar. Berbeda dengan
pandangan-pandangan dalam kalangan psikologi yang umum berlaku pada waktu itu,
Sigmund Freud berpendapat bahwa kehidupan manusia dikusai oleh alam ketidak sadarannya.
Berbagai kelainan tingkah laku disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat
dalam alam ketidak sadaran (unconsciousness)
tersebut.[4]
Argumen ini melahirkan
teori id, ego dan super
ego yang
terkenal itu, dimana fungsi ketiga aktivitas jiwa tersebut berperan penting
dalam seluruh tindakan manusia
Teori ini juga
mendasari pandangan Freud tentang prinsip kebahagiaan. Ia mengajukan prinsip kesenangan (pleasure principle)
sebagai prinsip dalam meraih kebahagiaan. Dalam teorinya itu, Freud tanpa ragu
menyebut bahwa segala yang dirasakan oleh peristiwa mental secara otomatis
diatur oleh prinsip kesenangan.
Peristiwa-peristiwa mental selalu saja menimbulkan ketegangan yang tidak
menyenangkan, tetapi kemudian menuju pada penurunan ketegangan itu dalam bentuk
penghindaran atas ketidak senangan (avoidance of unpleasure) dan
selanjutnya menimbulkan kesenangan (production of pleasure).
Kendati
demikian, hal tersebut tidak berarti adanya dominasi prinsip kesenangan atas
proses mental. Sebab jika itu terjadi, berarti mayoritas proses mental harus
selalu dipenuhi kesenangan. Kenyataannya, pengalaman universal dengan
sepenuhnya membantah hal itu. Dalam psikoanalisa ini, prinsip kesenangan
memang mendasari mayoritas motivasi tindakan manusia, tetapi ia tidak
sepenuhnya mendominasi proses mental. Manusia memang selalu menginginkan
kesenangan, tetapi proses mentalnya tidak selalu menjadikan kesenangan sebagai
pertimbangan-pertimbangan motivasinya. Freud mengakui kebahagiaan merupakan sesuatu yang sulit
diwujudkan. Hal ini mengingat bahwa kehidupan dirasa terlalu berat karena
banyaknya penderitaan, kekecewaan, dan kemustahilan. Ketika
seseorang merasakan kebahagiaan, sesungguhnya hal tersebut hanyalah pengalihan
atas penderitaan-penderitaan yang dialami. Freud menganggapnya sebagai:
1)
Pembelokan sangat kuat yang menyebabkan seseorang
menganggap ringan penderitaannya.
2)
Kepuasan pengganti, yang akan mengurangi penderitaan
tersebut.
3)
Substansi-substansi memabukkan (seperti dalam psikotropika) yang membuat seseorang
tidak mengindahkan penderitaannya.[5]
Freud menawarkan dua metode untuk meraih
kebahagiaan, yaitu hubungan emosional dengan orang lain dan kesenangan atas
keindahan.
b.
Hubungan
Emosional Dengan Orang Lain
Hubungan
emosional dengan obyek-obyek di dunia luar
merupakan salah satu metode mendapatkan kebahagiaan. Menurutnya, cinta
adalah pusat segalanya, sebuah cara hidup yang menjadikan segala bentuk
kepuasan dalam mencintai dan dicintai. Sikap psikis yang alamiah ini, terutama
cinta seksual, muncul pada semua orang sebagai bentuk manifestasi diri dan
memberikan pengalaman paling kuat dalam sensasi-sensasi yang menyenangkan.
Meski diakui, hilangnya cinta dan obyek cinta juga dapat menciptakan
penderitaan dengan ketidakberdayaan dan kesedihan.
c.
Kesenangan
Atas Keindahan
Keindahan
yang dimaksud terwujud dalam keindahan bentuk manusia dan gesturnya,
keindahan alam dan lanskap, keindahan artistik, bahkan keindahan
ciptaan-ciptaan ilmiah. Nilai estetika dari hal-hal di atas meski hanya
sedikit mengurangi penderitaan, tetapi memberikan kebahagiaan yang besar.
Kesenangan atas keindahan tersebut memiliki kualitas perasaan yang khas dan
sedikit melenakan. Keindahan tidak memiliki kegunaan yang nyata dan nilai yang
jelas dalam kebudayaan, tetapi peradaban tidak akan ada tanpanya.
Freud
mengakui psikoanalisa tidak mampu
menjelaskan sifat dan asal usul keindahan, sebagaimana kegagalan ilmu estetika
menjelaskannya. Psikoanalisa hanya memandang keindahan dalam perspektif
seksualitas semata. Keindahan dan “daya tarik” terdapat pada sifat dari obyek
seksual, dan bukan pada alat seksual itu sendiri. Menurut Freud, alat-alat
kelamin bahkan tidak memiliki keindahan, tetapi ia merupakan pemandangan yang
selalu menggairahkan. Jadi, keindahan dalam perspektif psikoanalisa
terdapat pada karakter seksual sekunder tertentu.[6]
[1]
Abu Ahmadi, Psikologi
Umum (Jakarta: Renika Cipta, 2009),
1.
[2]
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan
dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1986), 3.
[3] Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat absrak,
yang menjadi penggerak dan pengatur semua perbuatan pribadi (personal
behavior) dari hewan tingkat tinggi dan manusia.sedangkan tindakan pribadi
adalah perbuatan sebagai proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani,
rohani, sosial , dan lingkungan. Dan proses belajar adalah proses untuk
meningkat kepribadian dengan berusaha
mendapatkan pengertian baru, nilai baru, dan kecakapan baru sehingga ia akan
lebih sukses dalam mengahapi konradiksi-kontradiksi hidup. Abu Ahmadi, Psikologi
Umum, 1.
[4]
Singgih Dirgagunarsa, Pengantar Psikologi
(Jakarta: Mutiara, 1983), 61.
[5] Rofi'udin, ”Konsep Kebahagiaan Dalam Psikologi Dan Tasawuf “dalam
“skripsi/refrensi_bahagia_psikologo/abiquinsa_Konsep
Kebahagiaan_dalam_Psikologi_an_Tasawuf.html (diakses pada
tanggal 03 Mei 2013, jam 11.05)
[6] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar