Bahagaia Dalam Perspektif Filsafat




Oleh: Fauzi Fii Sabilillah
   Sebelum membahas kebahagiaan dalam kajian filsafat alangkah baiknya penulis paparkan pengertian filsafat terlebih dahulu.
 Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa yunani, philosophia” yang merupakan penggabungan dari dua kata yakni, “philos” yang berarti cinta dan sophia” yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat memiliki arti cinta kebijaksanaan. Cinta yang artinya hasrat yang besar atau bersungguh-sungguh. Kebijaksanaan, artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya.[1]
Dalam kajian bahasa Arab filsafat dimaknai sebagai al-h{ikmah, yang berarti berbicara yang sesuai dengan kebenaran.[2] Mengartikan kata filsafat dan h}ikmah, kemudian menggunakan dalam arti yang sama sebenarnya cukup beralasan. Hal ini disebabkan karena keduanya memiliki arti yang sama yakni mencapai pengetahuan yang benar dan mendalam.[3]
Filsafat menurut filusuf barat. Ada beberapa pendapat pengertian filsafat menurut filusuf barat. Filusuf barat seperti Plato berpendapat filsafat adalah pengetehuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Menurut Aristoteles filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Pendapat yang terakhir adalah pendapat Rene Descartes berpandangan filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan yang menjadi pokok-pokok pangkal dari segala pengetahuan, yang di dalamnya tercakup masalah epistemology yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.[4]
       Sedangkan menurut filusuf muslim, seperti Al-Kindi berpendapat bahwa ilmu filsafat dibagi menjadi tiga, yaitu ‘ilm al-riyadi (ilmu materialism) sebagai filsafat tingkat rendah, ‘alm al-tabi’iyah (ilmu alam) sabagai filsafat sedang, ‘ilm al-rububiyah (ilmu ketuhanan) sebagai ilmu tingkat tinggi.[5]
       Pendapat lain dari Al-Farabi. Bahwa filsafat adalah ilmu segala eksetensial, dengan dua perbuatan. Pertama, perbuatan yang diperoleh untuk mendapat kebaikan. Kedua, perbuatan yang bertujuan memperoleh kemanfaatan.[6]
       Pendapat yang berbeda dari Bagir, ia mengatakan filsafat Islam adalah gabungan pemikiran liberal dan agama. Hal itu bisa disebut liberal dalam hal pengandalannya pada kebenaran-kebenaran primer dan metode demonstraional untuk mambangun argumentasi-argumentasinya. Pada saat yang sama, pengaruh pengalaman religius amat dominan, baik dalam penerimaan kesepakatan mengenai apa yang di anggap sebagai kebenaran primer tersebut, maupun dalam pemilihan premis-premis tersebut, maupun pemilihan premis-premis lanjut dalam silogisme mereka.[7]
       Setelah memahami pengertian filsafat menurut kajian Yunani dan Arab. Dan juga menukil pendapat filusuf barat dan muslim,  sehingga dengan demikian kerangka berfikir selanjutnya bisa sistematis dalam memaknai kebahagiaan, maka penulis akan memaparkan kebahagiaan dalam kajian filsafat.
       Tokoh filsafat yang berbicara tentang kebahagiaan salah satunya adalah Aristoteles, ia berpendapat. Bahagia bukanlah suatu perolehan untuk manusia, tetapi corak bahagia itu berlain-lain dan beragam menurut perlainan corak dan ragam orang mencarinya, terkadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak membahagiakan untuk orang lain, sebab menurutnya bahagia itu ialah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing.[8] Beliau berpendapat bahagia itu bukan mempunyai arti dan suatu kejadian, melainkan peralihan coraknya menurut tujuan masing-masing manusia, adapun yang berdiri dengan sendirinya, dan tujuan setiap manusia yang hidup adalah kebahagiaan umum. Kebahagiaan umum adalah tujuan setiap manusia. Kelak setelah setiap individu memperoleh bahagia yang dicarinya, barulah manusia umum itu melangkah menuju kebaikan untuk bersama.[9]
       Socrates (470-399 SM) membangun teori kebahagiaannya di atas landasan etik yang rasional. Dasar dari budi atau etika itu menurutnya adalah tahu atau pengetahuan. Menurutnya, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Semakin tinggi pengetahuan seseorang, maka jiwanya akan semakin dekat kepada Tuhan, karena jiwa menurutnya adalah elemen yang berasal dari Tuhan. Dengan demikian, maka manusia akan dapat merasakan kehadiran Tuhan, yaitu dengan bisikan illahi yang akan membimbing segala perbuatannya. Dengan demikian, ia pun akan semakin mudah meraih kebahagiaan.[10]
       Plato (427-347 SM), filusuf besar murid Socrates berpendapat bahwa kebahagiaan sejati dapat diperoleh jika orang mencapai ide kebaikan. Ide kebaikan secara universal menciptakan segala hal yang indah dan benar, merupakan induk dan tambang cahaya di dunia ini, serta sumber kebenaran dan akal. Ide kebaikan juga merupakan sumber nalar, kebenaran, dan nilai tujuan moral. Dengan mencapai ide kebaikan akan menciptakan kebenaran dan kebaikan absolut (mutlak) yang tunggal, yang melapangkan jalan menuju Tuhan.[11]
Pendapat yang sama dari Aristoteles: kebaikan umum adalah suatu perkara yang apabila tercapai maka kita tidakakan berkehendak lagi kepada yang lain.[12]
Pendapat lan dikemukakan oleh Tolstoy, menurutnya bahagia terdiri menjadi dua, yakni bahagia yang waham-waham dan bahagia sejati. Yang dimaksud dengan bahagia yang waham-waham adalah bahagia yang sifatnya untuk diri sendiri dan bahagia yang sejati adalah bahagia yang berguna bagi masyarakat.[13]

Dari pendapat Tolstoy di atas, bahwa sejatinya bahagia yang sebenarnya adalah bahagia yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan manfaat untuk orang lain, bukan sebaliknya tidaklah pantas sebagai manusia mencari kebahagiaan yang mendatangkan kesedihan bagi orang lain. Tolstoy member rambu-rambu hendaknya kebahagiaan tidak dicari untuk kepentingan individu, Tolstoy menganggap kebahagiaan yang demikian penuh dengan kecacatan, karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri serta antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahka


[1]  Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 3.
[2]   Maftukhin, Falsafah Islam  (Yogyakarta: Teras, 2012), 2.
[3]   Ibid.
[4]  Surajio, Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia (Jakarta: PT.Bumi Putera, 2010), 4.
[5]   Maftukhin, Filsafat Islam, 3.
[6]   Ibid., 4.
[7]  Ibid., 5.
[8]   Hamka, Tasauf Modern, 25.
[9]   Ibid., 26.
[10]  Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas, 1980), 83-84.
[11]  Lavine, Petualangan Filsafat: Dari Socrates ke Sartre, ter. Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 39.
[12]   Hamka, Tasauf Modern, 26.
[13]   Ibid., 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar